Cari Blog Ini

Sabtu, 25 September 2010

MERAH DARAHKU PUTIH TULANGKU HIJAU BUMIKU

Hanya setitik peran kami
Mungkin tiada makna...
Mungkin tanpa arti...
Namun kami ingin kau dengar teriak kami...
Kami ingin kau maknai spirite kami
Jangan kau rampas hijaunya bumi kami...
jangan kau TUMPAS masa depan bumi kami...
Atas nama keserakahan!!!!!

********************************************************************************
_-

Sabtu, 30 Januari 2010

PENDAKIAN TERAKHIR



Di suatu senja ketika lembayung merekah merah,disebuah pendakian yang terjal seperti tak berujung.Sementara disamping kiri kananku hanyalah riak perdu dan ilalang yang melambai riang,disampingnya lagi hanyalah jurang-jurang terjal dengan batu-batunya mencuat mengintip yang sebagian lagi disembunyikan belukar.Letih lelahku berhenti sekejap dikala angin senja melambai wajah kusamku,dengan satu kaki bertumpu pada seonggok batu didepanku,tangan kananku tetap memegang tongkat ranting sebagai kaki ketigaku,ku pejamkan mataku dan sedikit kudongakan kepalaku menyambut riak sejuk semilir angin senja.
”Ya Rabb…,sungguh kuasa-Mu lah semua keindahan dan kenikmatan ini,wahai manusia nikmat manakah yang kau sangsikan”,gumamku dalam hati.Kulihat daun-daun perdupun bergoyang saling tertawa renyah.
“Ian..,Common hurry up! We must take a ficture here,It’s so wonderfull you know..” teriakan Angel panggilan untuk Angela dari atas menghentikanku tuk terus menikmati belaian angin senja.
Dia memintaku segera menyusulnya untuk mengambil foto karena hanya satu kamera yang kami bawa dan itu aku pegang.
“Ok…I’am coming..!”
aku segera menyusul teman-temanku yang sudah lebih dulu sampai pada sebuah dataran yang cukup luas sekitar duapuluh meter di depanku.Dari dataran itu kami mendapatkan sebuah pemandangan yang luar biasa menakjubkan,didepanku terbentang hamparan lukisan yang maha dasyat dan mahaluas disetiap sudut pandangku kulihat warna-warna indah yang tercipta dari kombinasi warna maha sempurna, menghampar warna biru mendominasi bercampur merah muda dari arah barat dan di beberapa titik warna putih membayang dipercantik lagi dengan segerombolan burung layang saling mengejar menukik,Oo..h,mungkin ini sebuah racikan mahakarya sang maestro,...oh tidak ini lebih dari sekedar sentuhan sekaliber Leonardo da Vinci misalnya bahkan lebih dasyat dari mahakarya Michael Angello pada atap sebuah katedral yang legendaries sekalipun.
Hari kian menjelang senja,pada ketinggian 1500 mdpl masih setengah perjalanan kami,udara terasa kian dingin menusuk,namun baiknya adalah cuaca hari itu benar-benar mendukung untuk kami terus mendaki.Setelah melepas lelah sekejap sambil sedikit bercanda dengan gaya narsis masing-masing kami mengambil beberapa gambar,limabelas menit kemudian kami segera bersiap melanjutkan perjalanan,kami harus sedikit bergegas untuk sampai pada posko ke-3 sebelum menjelang magrib yang kira-kira membutuhkan waktu satu jam tanpa berhenti,disanalah kami berniat mendirikan tenda sebagai basecamp sementara kami nanti,dan disana pulalah mataair terakhir yang akan kami dapatkan sebelum mendaki menuju puncak.
Senja yang indah….,tak sampai satu jam perjalanan kami sampai pada sebuah dataran yang cukup luas hanya beberapa pohon dan gundukan perdu-perdu di beberapa titik,salah satu yang menarik adalah dengan kehadiran sebuah pohon tua nan kokoh mungkin hanya bentangan dua tangan orang dewasalah yang dapat memeluknya Lagerstremia Speciosapers dari familia Lytheracea dia diberinama,atau pohon bungur yang kita kenal,ranting-rantingnya yang kokoh dengan congkak meranggah seperti hendak menyangga langit atau mungkin dia berharap atau menunggu rembulan jatuh seperti anak-anak ketika berebut saweran siap dengan tangan-tangan yang meranggah untuk menyambut jatuhnya uang recehan.
Lima tahun yang lalu….,ya lima tahun yang lalu,Sobat…..aku tidak akan pernah melupakan apa yang terjadi saat itu,dengan bersandar pada pohon yang sama,dikala tengah malam menjelang kau sempat menulis beberapa bait puisi dalam buku pocketmu….

Rembulan,
Aku ingin merangkai sanjak diantara cabang pohon
Aku ingin mengukir makna diatas daun belukar
Rembulan,
Kutengok kau terselip diantara rindang daun
Kau coba mengintip makna jiwaku
Kau coba merobek isi kalbuku
Rembulan,
Berjuta pesan dititip padamu
sebab orang gila dan putus asa
Seperti aku...
Rembulan,
kutitip makna jiwaku diantara ranting pohon
Biar kau tak mampu mengintip kalbuku

Rembulan kau tau..
Ketika kudengar ratapan Taufik Ismail
Ketika kudengar ko’ar Sutardji Kalsum Bahri
Atau disaat ku putar ulang senandung Ebiet G.Ade
Aku iri pada mereka...aku cemburu...
Dengan indah mereka mampu merangkai makna cinta pada-Nya


Dan aku tidak pernah menyangka ternyata itulah bait puisi terakhir yang kau tulis,tak sampai dua hari kemudian kau tidak mampu melawan pulmonary edema yang mengantarmu beserta sang badai.


Alisunan,2010